Bagiku masa SMU adalah masa-masa yang tidak dapat kulupakan. Terutama yang berhubungan dengan cinta. Selama 3 tahun di SMU aku sudah 3 kali berpacaran. Yang pertama, saat kelas 1, pacarku salah satu cewek populer di sekolahku, dan hubungan kami cuma bertahan selama 2 bulan.
![]() |
Di kelas 2, aku kembali menjalin
hubungan dengan seorang cewek manis, dan hubungan tersebut berjalan
cukup lama, hampir 1 tahun. Dan yang ke-3, kira-kira beberapa minggu
setelah aku putus dengan pacar keduaku. Awal hubungan kami bisa dibilang
sangat aneh dan tak terkira, meskipun sebelumnya kami sudah saling
kenal karena sering bertemu.
Waktu itu siang menjelang sore, aku
di rumah sendiri, duduk di sofa sambil nonton tv. Tapi lama kelamaan aku
merasa bosan. Aku memutuskan untuk keluar sebentar mencari rokok,
mumpung ortuku sedang tidak dirumah, dan aku bisa bebas merokok. Dan aku
pun keluar dengan sepeda motorku. Dasar sial warung rokok dekat rumahku
tutup semua, dan langit mulai tertutup mendung.
Cerita Sex | Aku ragu sejenak,
bingung apakah terus mencari warung yang buka atau pulang saja, tapi
setahuku di dekat jalan raya sana ada warung yang buka. Aku memutuskan
tetep mencari rokok ke warung di depan sana. Dan memang akhirnya aku
bisa mendapatkan rokok di warung itu. Gerimis mulai turun. Ketika aku
sedang tergesa-gesa menyalakan mesin motorku, kulihat seseorang yang
kukenal.
“Hai, Bu Lina!” aku memanggil wanita itu.
Ia menoleh dan tersenyum sambil menghampiriku.
“Hai Jo! Lagi apa kamu? Beli rokok ya?” tanya wanita itu.
“He.. He.. Ibu tahu aja!”
“Sudah Ibu bilang, jangan kebanyakan merokok!” kata Bu Lina,”Nggak baik untuk kesehatan.”
“He.. He.. Ibu tahu aja!”
“Sudah Ibu bilang, jangan kebanyakan merokok!” kata Bu Lina,”Nggak baik untuk kesehatan.”
Aku cuman cengar-cengir. Bu Lina
adalah guru privat adikku yang masih kelas 6 SD. Seminggu 2 kali Bu Lina
ke rumahku untuk memberi les untuk adikku. Dan Bu Lina sudah jadi guru
les adikku sejak 3 bulan yang lalu.
“Ibu mau ke rumah kan? Bareng yuk, keburu hujan.”
Sejak pertama kali bertemu Bu Lina,
diam-diam aku mengaguminya. Ia cantik dan anggun, juga baik hati, cerdas
dan ramah. Aku paling suka melihat Bu Lina saat ia menerangkan
pelajaran untuk adikku. Lama-lama rasa kagum itu berubah menjadi cinta,
tetapi tetap saja aku tak pernah berani mengatakannya. Ya, jangan kaget,
pacar ketigaku-ya-Bu Lina itu. Aku tak peduli beda usia yang cukup jauh
(waktu itu Bu Lina berusia 28 tahun, dan aku 18 tahun), aku tetap
mencintainya. Hujan semakin deras, dan ketika kami tiba di rumahku, kami
benar-benar basah.
“Masuk, Bu. Biar kuambilkan handuk”
Dan aku baru tersadar, kalau Bu Lina
tampak lebih cantik saat rambutnya basah. Di balik pakaiannya yang
basah sekilas tampak lekuk liku tubuh seksinya, membuatku membayangkan
hal yang bukan-bukan. Kami duduk di sofa ruang tengah, mengobrol sambil
minum teh hangat.
“Bukannya jadwal lesnya masih 1 jam lagi Bu?” tanyaku.
“Iya sih. Ibu habis dari rumah teman Ibu dekat sini, daripada mondar-mandir, sekalian saja ke sini. Lagipula tadi sudah gerimis.”
“Iya sih. Ibu habis dari rumah teman Ibu dekat sini, daripada mondar-mandir, sekalian saja ke sini. Lagipula tadi sudah gerimis.”
Kami mengobrol cukup lama.
“Sini Bu, cangkirnya biar diisi lagi.” Aku menawarkan.
“Eh, terima kasih!” Aku menerima cangkir yang diulurkan Bu Lina dan beranjak ke dapur.
“Eh, terima kasih!” Aku menerima cangkir yang diulurkan Bu Lina dan beranjak ke dapur.
Saat aku membuatkan teh hangat,
pikiran-pikiran kotor yang tadi sempat tertahan kembali muncul. Aku
membayangkan seandainya Bu Lina tak mengenakan apa-apa di tubuhnya yang
seksi itu. Dan semakin kubayangkan gairahku semakin menjadi-jadi.
“Ini, Bu!” Aku menaruh cangkir teh di atas meja.
Bu Lina tersenyum,
“Terima kasih!”
Aku masih berdiri di samping Bu Lina. Dan kulihat ia sedikit bingung,
“Ada apa, Jo?”
Aku tak tahu kenapa aku bisa begitu
nekat waktu itu. Dalam sekejab aku sudah memeluk Bu Lina. Bu Lina sangat
terkejut dan berusaha melepaskan pelukanku. Tapi tenagaku lebih kuat.
Kudorong tubuh Bu Lina hingga rebah di atas sofa.
“Jo, apa-apaan kamu?” Bu Lina berontak atas perlakuanku. Namun perlukanku semakin erat.
Aku berbisik pelan, “Aku
mencintaimu, Bu!” dan kulihat Bu Lina semakin terkejut. Ia diam terpaku
untuk sesaat. Aku memanfaatkan waktu sesaat itu untuk merenggut lepas
kancing-kancing kemejanya.
“Aku menginginkanmu, Bu!”
Kulihat payudara Bu LIna yang bulat
berisi di balik bra putihnya. Bu Lina hanya memandangku seakan tak
percaya apa yang baru saja terjadi. Ia sudah tak lagi meronta,
sepertinya sudah pasrah akan apa yang akan terjadi.
Pelan-pelan kuturunkan roknya, lalu
kulepaskan bra putih itu. Di depanku kini tampak jelas payudara Bu Lina
yang sungguh indah, pinggang ramping, pinggul seksi, dan kaki-kaki
jenjangnya. Tubuh Bu Lina kini hanya tertutupi oleh celana dalam putih.
Tanpa menunggu aku mulai mencumbui tubuh seksi Bu Lina. Mula-mula dari
payudaranya. Kumainkan lidahku, kuciumi dengan penuh nafsu, sesekali
lidahku memainkan putingnya yang menantang. Kurasakan tubuh Bu Lina
tergetar pelan, dan ia mulai mendesah pelan.
Kulanjutkan cumbuanku turun ke arah
perut, dan semaki ke bawah. Kulepaskan penutup terakhir tubuhnya. Saat
itu kudengar suara Bu Lina memohon pelan.
“Ja.. Jangan, Jo!”
Tapi aku tak peduli, aku mulai
mencumbu sela-sela paha itu. Harumnya liang kewanitaan Bu Lina membuatku
semakin bergairah. Kepalaku kusisipkan di antara kedua paha Bu Lina,
dan mulai mencumbu liang kewanitaan yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
Kumainkan lidahku di sana, kadang bibirku memainkan klitorisnya hingga
tubuh Bu Lina bergetar, dan desahan-desahan pelan terdengar dari bibir
Bu Lina saat jariku menyusup ke dalam vaginanya.
“Mmmh, ya!Oh.. Ya, enak.. Oh.. Oh!”
Lidah nakalku terus menari-nari di
sana, menyalurkan kenikmatan yang mulai membius kesadaran Bu Lina.
Sekarang Bu Lina mulai hanyut dalam permainan cumbuanku, desahan dan
erangannya mengimbangi tarian lidahku pada klitorisnya. Kedua pahanya
menjepit kepalaku.
“Yaa.. Ya!Oh.. Oh, ya sayang… Teruskan.. Oh.. Oh!”
Tak lama kemudian kurasakan getaran hebat tubuh Bu Lina. Erangannya pun terdengar semakin keras,
“AH.. Ya, ya… Oh sayang… Aku.. Aku
keluar… Oh ya… Ooohhh!” Bu Lina menggelinjang hibat dan liang
kewanitaannya mulai dibanjiri cairan vaginanya, membuat vagina Bu Lina
semakin becek. Aku menyapukan lidahku, menjilati cairan itu.
Aku melihat wajah cantik Bu Lina,
kini bersemu merah, matanya terpejam, nafasnya terengah-engah, bibirnya
mengeluarkan desahan-desahan pelan. Keringat membasahi tubuhnya. Bu Lina
membuka matanya, lalu memandangaku. Masih belum hilang rasa ingin tahu
dalam pandangan itu, seakan bertanya ‘Mengapa kamu melakukan ini pada
ibu?’ tetapi bibirnya tetap terkatup.
Kusambut bibir Bu Lina dengan bibirku. Selama beberapa saat kami berpagutan. Dan kurasakan Bu Lina mulai membalas ciumanku.
Aku mulai melepaskan semua
pakaianku. Kini kami berdua sudah tak mengenakan apa-apa lagi. Senjataku
sudah tegang sejak tadi, seperti sebuah rudal yang siap ditembakkan.
Ukurannya memang tidak seperti milik bintang film porno yang sering
kulihat, tapi cukup besar juga. Bu Lina memandangku dengan tatapan ragu
bercampur takut.
“Maaf, Bu!” kataku pelan.
Kutuntun penisku ke lubang vagina Bu Lina. Kurasakan Bu Lina sedikit menolak saat kepala penisku menyentuh klitorisnya.
“Ja… Jangan, Jo! Ja… Jangan dimasukkan, nan… Nanti…”
“Ibu nggak usah khawatir, Jo tanggung jawab,” kataku, “Jo mencintai Ibu!”
“Ta.. Tapi Jo…”
“Ibu nggak usah khawatir, Jo tanggung jawab,” kataku, “Jo mencintai Ibu!”
“Ta.. Tapi Jo…”
Belum selesai Bu Lina bicara, aku sudah menusukkan senjataku hingga masuk setengahnya.
“Ah… Jo!” Bu Lina mulai meronta.
“Tenang Bu!” kupegangi kedua tangannya.
“Tenang Bu!” kupegangi kedua tangannya.
Kurasakan lubang vagina Bu Lina yang
masih sempit itu menjepit penisku dan meremas-remasnya. Aku
bertanya-tanya, apa Bu Lina masih perawan. Kudorong penisku hingga
menyusup lebih jauh. Bu Lina merintih,
“Sa… Sakit Jo..”
“Iya.. Iya Bu! Jo pelan-pelan masukinnya.”
“Iya.. Iya Bu! Jo pelan-pelan masukinnya.”
Mungkin Bu Lina nemang masih
perawan, pikirku. Kulihat titik-titik air mata mulai basahi matanya, dan
ada sebagian yang jatuh ke pipinya.
“Jo.. Hentikan! Ja… Jangan diteruskan!” desah Bu Lina.
Kepalang tanggung, pikirku. Dan kulesakkan penisku hingga masuk seluruhnya, sampai-sampai Bu Lina menjerit.
“Ah.. Jo, sakit Jo!”
“Tak apa-apa, Bu. Cuman sebentar sakitnya.”
“Tak apa-apa, Bu. Cuman sebentar sakitnya.”
Kudiamkan penisku di dalam vagina Bu
Lina selama beberapa saat, kurasakan pijatan lembut dinding vagina pada
penisku. Terasa nikmat sekali. Lalu aku mulai menggerakkan pinggulku
maju mundur, mengocokkan penisku di dalam vagina Bu Lina. Bu Lina
mengerang, pada awalnya tedengar rintihan kesakitan, namun lambat laun
berganti desahan kenikmatan.
“Ya.. Ya, Oh ya sayang!”
Peluh membanjiri tubuh Bu Lina,
matanya terpejam seakan-akan menjemput kenikmatan yang datang
bertubi-tubi. Desahannya mengiringi gerakan pinggulku.
“Oh, ya.. Oh… Ouh. Terus sayang! Enak, ja.. Jangan berhenti, oh..”
Aku terus memompa penisku keluar
masuk, menggesek dindinjg vagina yang basah itu. Kulihat tangan Bu Lina
meremas-remas payudaranya sendiri. Kenikmatan sudah menjalari seluruh
tibuhnya. Desahan dan erangan terus menggema di ruangan itu, berbaur
dengan deru suara hujan di luar.
Tak lama kemudian kulihat Bu Lina
menggelinjang hebat, dan dari bibirnya terdengar erangan panjang
menendakan ia telah mencapai klimaks. Kurasakan cairan hangat basahi
penisku di dalam vaginanya.
“Oh, oh.. Ya.. Ooohh, sayang! Aku keluar, oh… Oh…!”
Dan tanpa sadar tangannya meraihkui
dan memelukku erat sambil terus mengerang merasakan kenikmatan puncak
yang menguasai tubuhnya.
“Oh… Oh, ya ough!”
Nafasnya tersengal-sengal.
“Ya, nikmat sekali, oh..!”
Akupun merasa sudah hampir mencapai
klimaks, maka kupercepat gerakan pinggulku. Dan sepertinya gerakanku
memacu kembali gairah Bu Luna. Kurasakan pinggul seksi Bu Lina
mengimbangi gerakan pinggulku.
“Oh.. Ya… Oh, lagi sayang.. Oh!” desah Bu Lina,”Lebih cepat lagi… Oh.. Oh!!”
Dan tak lama kemudian kurasakan penisku berdenyut-denyut.
“A.. Aku hampir keluar Bu!” kataku,”Keluarin di mana?”
“Oh.. Keluarin saja… Di dalam… Nggak apa-apa..”
“Oh.. Keluarin saja… Di dalam… Nggak apa-apa..”
Dan seketika itu juga aku mencapai
puncak, penisku memuntahkan banyak cairan mani ke dalam vagina bu Lina,
memenuhi rongga kewanitaannya.
“Ough.. Bu! Aku keluar, Bu! Oh nikmat sekali, oh..!”
Bu Lina menggelinjang lagi, ia mencapai klimaks lagi sesaat setelah aku orgasme.
“Ya.. Oh, ya sayang.. Aku juga keluar… Oh.. Oh..”
Tubuh kami bersimbah pelu, aku
merasakan sangat lelah. Tubuhku kurebahkan di sofa di samping tubuh Bu
Lina. Nafas kami tersengal-sengal. Kulihat wajah Bu Lina yang bersemu
merah tampak cantik, ia tersenyum.
“Kau… Kau nakal Jo!” katanya pelan,”Tapi aku senang.”
“I… Ibu tidak marah?”
“I… Ibu tidak marah?”
Bu Lina mencium bibirku.
“Aku memang marah pada mulanya, tapi-sudahlah-semuanya sudah terjadi,” katanya,
“Kau hebat!”
“Kau hebat!”
Hujan masih turun dengan derasnya.
Adikku menelpon, katanya ia belum bisa pulang karena hujan belum reda.
Dan aku menghabiskan sore itu berdua bersama Bu Lina. Kami masih sempat
bermain cinta sekali lagi sebelum kedua orangtua dan adikku pulang.
Sejak saat itu aku merasa hubunganku
dengan Bu Lina semakin dekat, selayaknya sepasang kekasih. Bu Lina
menjadi lebih ramah padaku. Kadang kalau ada waktu senggang, aku main ke
rumah Bu Lina, atau jika rumahku sepi, aku mengundang Bu Lina ke
rumahku, dan kami bisa menghabiskan sore dengan bermain cinta. Hubungan
kami bertahan selama 6 bulan, dan berakhir saat aku lulus SMU dan harus
melanjutkan ke perguruan tinggi di kota lain.
jangan segan2 berkunjung kembaLi ya sobat
EmoticonEmoticon