Berkat penampilanku yang menarik dan
keramah-tamahanku, aku bisa diterima di situ, sehingga aku pun berhak
mengenakan pakaian seragam baju atas berwarna putih agak krem, dengan
blazer merah yang sewarna dengan rokku yang ujungnya sedikit di atas
lutut.
![]() |
Sampai suatu saat, tiba-tiba ibuku
terkena serangan jantung. Setelah diopname selama dua hari, ibuku wafat
meninggalkan aku. Rasanya seperti langit runtuh menimpaku saat itu.
Sejak itu, aku hanya tinggal bertiga dengan ayah tiriku dan Adi.
Sepeninggal ibuku, sikap Adi dan
ayahnya mulai berubah. Mereka berdua beberapa kali mulai bersikap kurang
ajar terhadapku, terutama Adi. Bahkan suatu hari saat aku ketiduran di
sofa karena kecapaian bekerja di kantor, tanpa kusadari ia memasukkan
tangannya ke dalam rok yang kupakai dan meraba paha dan selangkanganku.
Ketika aku terjaga dan memarahinya,
Adi malah mengancamku. Kemudian ia bahkan melepaskan celana dalamku.
Tetapi untung saja, setelah itu ia tidak berbuat lebih jauh. Ia hanya
memandangi kewanitaanku yang belum banyak ditumbuhi bulu sambil menelan
air liurnya.
Lalu ia pergi begitu saja
meninggalkanku yang langsung saja merapikan pakaianku kembali. Selain
itu, Adi sering kutangkap basah mengintip tubuhku yang bugil sedang
mandi melalui lubang angin kamar mandi. Aku masih berlapang dada
menerima segala perlakuan itu. Pada saat itu aku baru saja pulang kerja
dari kantor.
Ah, rasanya hari ini lelah sekali.
Tadi di kantor seharian aku sibuk melayani nasabah-nasabah bank tempatku
bekerja yang menarik uang secara besar-besaran. Entah karena apa, hari
ini bank tempatku bekerja terkena rush.
Ingin rasanya aku langsung mandi.
Tetapi kulihat pintu kamar mandi tertutup dan sedang ada orang yang
mandi di dalamnya. Kubatalkan niatku untuk mandi. Kupikir sambil
menunggu kamar mandi kosong, lebih baik aku berbaring dulu melepaskan
penat di kamar.
Akhirnya setelah melepas sepatu dan
menanggalkan blazer yang kukenakan, aku pun langsung membaringkan
tubuhku tengkurap di atas kasur di kamar tidurnya. Ah, terasa nikmatnya
tidur di kasur yang demikian empuknya. Tak terasa, karena rasa kantuk
yang tak tertahankan lagi, aku pun tertidur tanpa sempat berubah posisi.
Aku tak menyadari ada seseorang
membuka pintu kamarku dengan perlahan-lahan, hampir tak menimbulkan
suara. Orang itu lalu dengan mengendap-endap menghampiriku yang masih
terlelap. Kemudian ia naik ke atas tempat tidur. Tiba-tiba ia menindih
tubuhku yang masih tengkurap, sementara tangannya meremas-remas belahan
pantatku.
Aku seketika itu juga bangun dan
meronta-ronta sekuat tenaga. Namun orang itu lebih kuat, ia melepaskan
rok yang kukenakan. Kemudian dengan secepat kilat, ia menyelipkan
tangannya ke dalam celana dalamku.
Dengan ganasnya, ia meremas-remas
gumpalan pantatku yang montok. Aku semakin memberontak sewaktu tangan
orang itu mulai mempermainkan bibir kewanitaanku dengan ahlinya.
Sekali-sekali aku mendelik-delik saat jari telunjuknya dengan sengaja
berulang kali menyentil-nyentil klitorisku.
“Aahh! Jangaann! Aaahh…!” aku
berteriak-teriak keras ketika orang itu menyodokkan jari telunjuk dan
jari tengahnya sekaligus ke dalam kewanitaanku yang masih sempit itu,
setelah celana dalamku ditanggalkannya.
Akan tetapi ia mengacuhkanku. Tanpa
mempedulikan aku yang terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit
kesakitan, jari-jarinya terus-menerus merambahi lubang kenikmatanku itu,
semakin lama semakin tinggi intensitasnya.
Aku bersyukur dalam hati waktu orang
itu menghentikan perbuatan gilanya. Akan tetapi tampaknya itu tidak
bertahan lama. Dengan hentakan kasar, orang itu membalikkan tubuhku
sehingga tertelentang menghadapnya. Aku terperanjat sekali mengetahui
siapa orang itu sebenarnya.
“Adi… Kamu…” Adi hanya menyeringai buas.
“Eh, Mer. Sekarang elu boleh
berteriak-teriak sepuasnya, tidak ada lagi orang yang bakalan menolong
elu. Apalagi si nenek tua itu sudah mampus!”
Astaga Adi menyebut ibuku, ibu tirinya sendiri, sebagai nenek tua. Keparat.
“Adi! Jangan, Adi! Jangan lakukan ini! Gue kan kakak elu sendiri! Jangan!”
“Kakak? Denger, Mer. Gue tidak
pernah nganggap elu kakak gue. Siapa suruh elu jadi kakak gue. Yang gue
tau cuma papa gue kawin sama nenek tua, mama elu!”
“Adi!”
“Elu kan cewek, Mer. Papa udah
ngebiayain elu hidup dan kuliah. Kan tidak ada salahnya gue sebagai
anaknya ngewakilin dia untuk meminta imbalan dari elu. Bales budi dong!”
“Iya, Adi. Tapi bukan begini caranya!”
“Heh, yang gue butuhin cuman tubuh molek elu, tidak mau yang lain. Gue tidak mau tau, elu mau kasih apa tidak!”
“Errgh…”
Aku tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Mulut Adi secepat kilat memagut mulutku. Dengan memaksa ia melumat
bibirku yang merekah itu, membuatku hampir tidak bisa bernafas. Aku
mencoba meronta-ronta melepaskan diri. Tapi cekalan tangan Adi jauh
lebih kuat, membuatku tak berdaya. “Akh!” Adi kesakitan sewaktu kugigit
lidahnya dengan cukup keras.
Tapi, “Plak!” Ia menampar pipiku
dengan keras, membuat mataku berkunang-kunang. Kugeleng-gelengkan
kepalaku yang terasa seperti berputar-putar.
Tanpa mau membuang-buang waktu lagi,
Adi mengeluarkan beberapa utas tali sepatu dari dalam saku celananya.
Kemudian ia membentangkan kedua tanganku, dan mengikatnya masing-masing
di ujung kiri dan kanan tempat tidur.
Demikian juga kedua kakiku, tak
luput diikatnya, sehingga tubuhku menjadi terpentang tak berdaya diikat
di keempat arah. Oleh karena kencangnya ikatannya itu, tubuhku tertarik
cukup kencang, membuat dadaku tambah tegak membusung. Melihat
pemandangan yang indah ini membuat mata Adi tambah menyalang-nyalang
bernafsu.
Tangan Adi mencengkeram kerah blus
yang kukenakan. Satu persatu dibukanya kancing penutup blusku. Setelah
kancing-kancing blusku terbuka semua, ditariknya blusku itu ke atas.
Kemudian dengan sekali sentakan, ditariknya lepas tali pengikat BH-ku,
sehingga buah dadaku yang membusung itu terhampar bebas di depannya.
“Wow! Elu punya toket bagus gini kok
tidak bilang-bilang, Mer! Auum!” Adi langsung melahap buah dadaku yang
ranum itu. Gelitikan-gelitikan lidahnya pada ujung puting susuku
membuatku menggerinjal-gerinjal kegelian.
Tapi aku tidak mampu berbuat
apa-apa. Semakin keras aku meronta-ronta tampaknya ikatan tanganku
semakin kencang. Sakit sekali rasanya tanganku ini. Jadi aku hanya
membiarkan buah dada dan puting susuku dilumat Adi sebebas yang ia suka.
Aku hanya bisa menengadahkan kepalaku menghadap langit-langit, memikirkan nasibku yang sial ini.
“Aaarrghh… Adi! Jangaannn..!”
Lamunanku buyar ketika terasa sakit di selangkanganku. Ternyata Adi
mulai menghujamkan kemaluannya ke dalam kewanitaanku. Tambah lama
bertambah cepat, membuat tubuhku tersentak-sentak ke atas.
Melihat aku yang sudah tergeletak
pasrah, memberikan rangsangan yang lebih hebat lagi pada Adi. Dengan
sekuat tenaga ia menambah dorongan kemaluannya masuk-keluar dalam
kewanitaanku. Membuatku meronta-ronta tak karuan.
“Urrgh…” Akhirnya Adi sudah tidak
dapat menahan lagi gejolak nafsu di dalam tubuhnya. Kemaluannya
menyemprotkan cairan-cairan putih kental di dalam kewanitaanku. Sebagian
berceceran di atas sprei sewaktu ia mengeluarkan kemaluannya, bercampur
dengan darah yang mengalir dari dalam kewanitaanku, menandakan selaput
daraku sudah robek olehnya. Karena kelelahan, tubuh Adi langsung
tergolek di samping tubuhku yang bermandikan keringat dengan nafas
terengah-engah.
“Braak!” Aku dan Adi terkejut mendengar pintu kamar terbuka ditendang cukup keras. Lega hatiku melihat siapa yang melakukannya.
“Papa!”
“Adi! Apa-apa sih kamu ini?! Cepat kamu bebaskan Merry!”
Ah, akhirnya neraka jahanam ini
berakhir juga, pikirku. Adi mematuhi perintah ayahnya. Segera dibukanya
seluruh ikatan di tangan dan kakiku. Aku bangkit dan segera berlari
menghambur ke arah ayah tiriku.
“Sudahlah, Mer. Maafin Adi ya. Itu kan sudah terjadi”, kata ayah tiriku menenangkan aku yang terus menangis dalam dekapannya.
“Tapi, Pa. Gimana nasib Meriska?
Gimana, Pa? Aaahh… Papaa!” tangisanku berubah menjadi jeritan seketika
itu juga tatkala ayah tiriku mengangkat tubuhku sedikit ke atas kemudian
ia menghujamkan kemaluannya yang sudah dikeluarkannya dari dalam
celananya ke dalam kewanitaanku.
“Aaahh… Papaa… Jangaaan!” Aku
meronta-ronta keras. Namun dekapan ayah tiriku yang begitu kencang
membuat rontaanku itu tidak berarti apa-apa bagi dirinya.
Ayah tiriku semakin ganas
menyodok-nyodokkan kemaluannya ke dalam kewanitaanku. Ah! Ayah dan anak
sama saja, pikirku, begitu teganya mereka menyetubuhi anak dan kakak
tiri mereka sendiri.
Aku menjerit panjang kesakitan
sewaktu Adi yang sudah bangkit dari tempat tidur memasukkan kemaluannya
ke dalam lubang anusku. Aku merasakan rasa sakit yang hampir tak
tertahankan lagi. Ayah dan kakak tiriku itu sama-sama menghunjam tubuhku
yang tak berdaya dari kedua arah, depan dan belakang.
Akibat kelelahan bercampur dengan
kesakitan yang tak terhingga akhirnya aku tidak merasakan apa-apa lagi,
tak sadarkan diri. Aku sudah tidak ingat lagi apakah Adi dan ayahnya
masih mengagahiku atau tidak setelah itu.
Beberapa bulan telah berlalu. Aku
merasa mual dan berkali-kali muntah di kamar mandi. Akhirnya aku
memeriksakan diriku ke dokter. Ternyata aku dinyatakan positif hamil.
Hasil diagnosa dokter ini bagaikan gada raksasa yang menghantam wajahku.
Aku mengandung?
Kebingungan-kebingungan terus-menerus menyelimuti benakku. Aku tidak
tahu secara pasti, siapa ayah dari anak yang sekarang ada di kandunganku
ini. Ayah tiriku atau Adi. Hanya mereka berdua yang pernah
menyetubuhiku.
Aku bingung, apa status anak dalam
kandunganku ini. Yang pasti ia adalah anakku. Lalu apakah ia juga
sekaligus adikku alias anak ayah tiriku? Ataukah ia juga sekaligus
keponakanku sebab ia adalah anak adik tiriku sendiri?