Waktu itu aku masih ikut dengan saudaraku, dan aku ikut ngebantuin dia soalnya aku masih menganggur selama tiga bulan aku membantu usaha kecil kecilan di pasar, dan kebetulan aku berkenalan dengan salah satu pelanggan yang biasanya menggunakan jasa angkutku, namanya bu Murni dia pengusaha kain dan baju. Aku disuruh untuk mengantar barang dia di rumahnya.
Sesampai dirumahnya aku bantuin dia mengangkat barang-barangnya. Mungkin karena sudah mulai akrab aku enggak langsung pulang. Toh, memang ini penumpang yang terakhir. Aku duduk saja di depan rumahnya yang sejuk, karena kebetulan ada seperti dipan dari bambu dihalaman di bawah pohon jambu. Dari dalam aku mendengar suara seperti memerintah kepada seseorang..
“Pit.. Tuh bawain air yang dikendil ke depan..,” begitu suara Bu Murni.
![]() |
Aku tidak mendengar ada jawaban dari
yang diperintah Bu Murni tadi. Yang ada tiba-tiba seorang gadis umur
kira-kira 20 tahunan keluar dari rumah membawa gelas dan kendil air
putih segar. Wajahnya biasa saja, agak mirip Bu Murni, tapi kulitnya
putih dan semampai pula. Dia tersenyum..
“Mas, minum dulu.. Air kendil seger lho..” begitu dia menyapaku.
“I.. Iya.. Makasih..” balasku.
Masih sambil senyum dia balik kanan
untuk masuk kembali ke dalam rumahnya. Aku masih tertegun sambil
memandangnya. Seperti ingin tembus pandang saja niatku, ‘Pantatnya
aduhai, jalannya serasi, lumayan deh..’ batinku.
Tak seberapa lama Bu Murni keluar. Dia sudah ganti baju, mungkin yang biasa dia pakai kesehariannya..
“Dik Wahyu, itu tadi anak saya si Pita..” kata Bu Murni.
“Dia tuh lagi ngurus surat-surat katanya mau ke Malaysia jadi TKW.” lanjutnya. Aku manggut-manggut..
“O gitu yah.. Ngapain sih kok mau jauh-jauh ke Malaysia, kan jauh.. Nanti kalau ada apa-apa gimana..” aku menimpalinya.
Begitu seterusnya aku ngobrol
sebentar lalu pamit undur diri. Belum sampai aku menstater mobil
pickupku, Bu Murni sambil berlari kecil ke arahku..
“Eh dik Wahyu, tunggu dulu katanya
Pita mau ikut sampai terminal bis. Dia mau ambil surat-surat dirumah
kakaknya. Tungguin sebentar ya..”
Aku tidak jadi menstater dan sambil
membuka pintu mobil aku tersenyum karena inilah saatnya aku bisa puas
mengenal si Pita. Begitulah akhirnya aku dan Pita berkenalan pertama
kali. Aku antar dia mengambil surat-surat TKW-nya. Di dalam perjalanan
kami ngobrol dan sambil bersendau gurau.
“Pit.., namamu Pita. Kok nggak ada lesung Pitanya..” kataku ngeledek. Pita juga tak kalah ngeledeknya.
“Mas aku kan sudah punya lesung yang lain.. Masak sih kurang lagi..” balas Pita..
Di situ aku mulai berani ngomong
yang sedikit nakal, karena sepertinya Pita tak terlalu kaku dan lugu
layaknya gadis-gadis didesa. Pantas saja dia berani merantau keluar
negeri, pikirku.
Sesampai dirumah kakaknya, ternyata
tuan rumah sedang pergi membantu tetangga yang sedang hajatan. Hanya ada
anaknya yang masih kecil kira-kira 7 tahunan dirumah. Pita menyuruhnya
memanggilkan ibunya.
“Eh Ugi, Ibu sudah lama belum perginya? susulin sana, bilang ada Lik Pita gitu yah..”
Ugi pergi menyusul ibunya yang tak
lain adalah kakaknya Pita. Selagi Ugi sedang menyusul ibunya, aku
duduk-duduk di dipan tapi di dalam rumah. Pita masuk ke ruangan dalam
mungkin ambil air atau apa, aku diruangan depan. Kemudian Pita keluar
dengan segelas air putih ditangannya.
“Mas minum lagi yah.. Kan capek nyetir mobil..” katanya.
Diberikannya air putih itu, tapi
mata Pita yang indah itu sambil memandangku genit. Aku terima saja
gelasnya dan meminumnya. Pita masih saja memandangku tak berkedip.
Akupun akhirnya nekat memandang dia juga, dan tak terasa tanganku meraih
tangan Pita, dingin dan sedikit berkeringat. Tak disangka, malah tangan
Pita meremas jariku. Aku tak ambil pusing lagi tangan satunya kuraih,
kugenggam. Pita menatapku.
“Mas.. Kok kita pegang-pegangan sih..” Pita setengah berbisik.
Agak sedikit malu aku, tapi kujawab juga, “Abis, .. Kamu juga sih..”
Setelah itu sambil sama-sama
tersenyum aku nekad menarik kedua tangannya yang lembut itu hingga
tubuhnya menempel di dadaku, dan akhirnya kami saling berpelukan tidak
terlalu erat tadinya. Tapi terus meng-erat lagi, erat lagi..
Buah dadanya kini menempel lekat
didadaku. Aku semakin mendapat keberanian untuk mengelus wajahnya. Aku
dekatkan bibirku hingga menyentuh bibirnya. Merasa tidak ada protes,
langsung kukecup dan mengulum bibirnya.
Benar-benar nikmat. Bibirnya
basah-basah madu. Tanganku mendekap tubuhku sambil kugoyangkan dengan
maksud sambil menggesek buah dadanya yang mepet erat dengan tubuhku.
Sayup-sayup aku mendengar Pita seperti mendesah lirih, mungkin mulai
terangsang kali..
Apalagi tanpa basa-basi tonjolan di
bawah perutku sesekali aku sengaja kubenturkan kira-kira ditengah
selangkangannya. Sesekali seperti dia tahu iramanya, dia memajukan
sedikit bagian bawahnya sehingga tonjolanku membentur tepat diposisi
“mecky”nya.
Sinyal-sinyal nafsu dan birahiku
mulai memuncak ketika tanpa malu lagi Pita menggelayutkan tangannya
dipundakku memeluk, pantatnya goyang memutar, menekan sambil mendesah.
Tanganku turun dan meremas pantatnya yang padat.
Akupun ikut goyang melingkar menekan
dengan tonjolan penisku yang menegang tapi terbatas karena masih
memakai celana lumayan ketat. Ingin rasanya aku gendong tubuh Pita untuk
kurebahkan ke dipan, tapi urung karena Ugi yang tadi disuruh Pita
memanggil ibunya sudah datang kembali.
Buru-buru kami melepas pelukan,
merapikan baju, dan duduk seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Begitu
masuk, Ugi yang ternyata sendirian berkata seperti pembawa pesan.
“Lik Pita, Ibu masih lama, sibuk
sekali lagi masak buat tamu-tamu. Lik Pita suruh tunggu aja. Ugi juga
mau ke sana mau main banyak teman. sudah ya Lik..”
Habis berkata begitu Ugi langsung
lari ngeloyor mungkin langsung buru-buru mau main dengan teman-temannya.
Aku dan Pita saling menatap, tak habis pikir kenapa ada kesempatan yang
tak terduga datang beruntun untuk kami, tak ada rencana, tak ada niat
tahu-tahu kami hanya berdua saja disebuah rumah yang kosong ditinggal
pemiliknya.
“Mas, mending kita tunggu saja yah..
sudah jauh-jauh balik lagi kan mubazir.. Tapi Mas Wahyu ada acara nggak
nanti berabe dong..” berkata Pita memecah keheningan.
Dengan berbunga-bunga aku tersenyum dan setuju karena memang tidak ada acara lagi aku dirumah.
“Pit sini deh.. Aku bisikin..” kataku sambil menarik lengan dengan lembut.
“Eh, kamu cantik juga yah kalau dipandang-pandang..”
Tanpa ba-Bi-Bu lagi Pita malah
memelukku, mencium, mengulum bibirku bahkan dengan semangatnya yang
sensual aku dibuat terperanjat seketika. Akupun membalasnya dengan buas.
Sekarang tidak berlama-lama lagi sambil berdiri.
Aku mendorong mengarahkannya ke
dipan untuk kemudian merebahkannya dengan masih berpelukan. Aku
menindihnya, dan masih menciumi, menjilati lehernya, sampai ke telinga
sebelah dalam yang ternyata putih mulus dan beraroma sejuk.
Tangannya meraba tonjolan dicelanaku
dan terus meremasnya seiring desahan birahinya. Merasa ada perimbangan,
aku tak canggung-canggung lagi aku buka saja kancing bajunya. Tak sabar
aku ingin menikmati buah dada keras kenyal berukuran 34 putih mulus
dibalik bra-nya.
Sekali sentil tali bra terlepas,
kini tepat di depan mataku dua tonjolan seukuran kepalan tangan aktor
Arnold Swchargeneger, putih keras dengan puting merah mencuat kurang
lebih 1 cm. Puas kupandang, dilanjutkan menyentuh putingnya dengan
lubang hidungku, kuputar-putar sebelum akhirnya kujilati mengitari
diameternya kumainkan lidahku, kuhisap, sedikit menggigit, jilat lagi,
bergantian kanan dan kiri. Pita membusung menggeliat sambil menghela
nafas birahi.
Matanya merem melek lidahnya
menjulur membasahi bibirnya sendiri, mendesah lagi.. Sambil lebih keras
meremas penisku yang sudah mulai terbuka resluiting celanaku karena
usaha Pita.
Tanganku mulai merayap ke sana
kemari dan baru berhenti saat telah kubuka celana panjang Pita pelan
tapi pasti, hingga berbugil ria aku dengannya. Kuhajar semua lekuk
tubuhnya dengan jilatanku yang merata dari ujung telinga sampai
jari-jari kakinya.
Nafas Pita mulai tak beraturan
ketika jilatanku kualihkan dibibir vaginanya. Betapa indah, betapa
merah, betapa nikmatnya. Clitoris Pita yang sebesar kacang itu kuhajar
dengan kilatan kilatan lidahku, kuhisap, kuplintir-plintir dengan segala
keberingasanku. Bagiku Mecky dan klitoris Pita mungkin yang terindah
dan terlezaat se-Asia tenggara.
Kali ini Pita sudah seperti terbang
menggelinjang, pantatnya mengeras bergoyang searah jarum jam padahal
mukaku masih membenam diselangkangannya. Tak lama kemudian kedua paha
Pita mengempit kepalaku membiarkan mulutku tetap membenam di meckynya,
menegang, melenguhkan suara nafasnya dan…
“Aauh.. Ahh.. Ahh.. Mas.. Pita..
Mas.. Pita.. Keluar.. Mas..” mendengar lenguhan itu semakin
kupagut-pagut, kusedot-sedot meckynya, dan banjirlah si-rongga sempit
Pita itu. Iri sekali rasanya kalau aku tak sempat keluar orgasme,
kuangkat mukaku, kupegang penisku, kuhujam ke vaginanya. Ternyata tak
terlalu susah karena memang Pita tidak perawan lagi.
Aku tak perduli siapa yang
mendahului aku, itu bukan satu hal penting. Yang penting saat ini aku
yang sedang berhak penuh mereguk kenikmatan bersamanya. Lagipula aku
memang orang yang tidak terlalu fanatik norma kesucian, bagiku lebih
nikmat dengan tidak memikirkan hal-hal njelimet seperti itu.
Kembali ke “pertempuranku”, setengah
dari penisku sudah masuk keliang vagina sempitnya, kutarik maju mundur
pelan, pelan, cepet, pelan lagi, tanganku sambil meremas buah dada Pita.
Rupanya Pita mengisyaratkan untuk lebih cepat memacu kocokan penis
saktiku, akupun tanggap dan memenuhi keinginannya. Benar saja dengan
“Ahh.. Uhh”-nya Pita mempercepat proses penggoyangan aku kegelian. Geli
enak tentunya. Semakin keras, semakin cepat, semakin dalam penisku
menghujam.
Kira-kira 10 menit berlalu, aku tak
tahan lagi setelah bertubi-tubi menusuk, menukik ke dalam sanggamanya
disertai empotan dinding vagina bidadari calon TKW itu, aku setengah
teriak berbarengan desahan Pita yang semakin memacu, dan akhirnya
detik-detik penyampaian puncak orgasme kami berdua datang.
Aku dan Pita menggelinjang,
menegang, daan.. Aku orgasme menyemprotkan benda cair kental di dalam
mecky Pita. Sebaliknya Pita juga demikian. Mengerang panjang sambil
tangannya menjambak rambutku.. Tubuhku serasa runtuh rata dengan tanah
setelah terbang ke angkasa kenikmatan. Kami berpelukan, mulutku berbisik
dekat telinga Pita.
“Kamu gila Pit.. Bikin aku kelojotan.. Nikmat sekali.. Kamu puas Pit?”
Pita hanya mengangguk, “Mas Wahyu.., aku seperti di luar angkasa lho Mas.. Luar biasa benar kamu Mas..” bisiknya..
Sadar kami berada dirumah orang,
kami segera mengenakan kembali pakaian kami, merapihkannya dan bersikap
menenangkan walaupun keringat kami masih bercucuran. Aku meraih gelas
dan meminumnya.
Kami menghabiskan waktu menunggu
kakaknya Pita datang dengan ngobrol dan bercanda. Sempat Pita bercerita
bahwa keperawanannya telah hilang setahun lalu oleh tetangganya sendiri
yang sekarang sudah meninggal karena demam berdarah. Tapi tidak ada
kenikmatan saat itu karena berupa perkosaan yang entah kenapa Pita
memilih untuk memendamnya saja.
Begitulah akhirnya kami sering
bertemu dan menikmati hari-hari indah menjelang keberangkatan Pita ke
Malaysia. Kadang dirumahnya, saat Bu Murni kepasar, ataupun di kamarku
karena memang bebas 24 jam tanpa pantauan dari sepupuku sekalipun.
Tak lama setelah keberangkatan Pita
aku pindah ke Jakarta. Khabar terakhir tentang Pita aku dengar setahun
yang lalu, bahwa Pita sudah pulang kampung, bukan sendiri tapi dengan
seorang anak kecil yang ditengarai sebagai hasil hubungan gelap dengan
majikannya semasa bekerja di negeri Jiran itu.
Sedang tentangku sendiri masih
berpetualang dan terus berharap ada “Pita-Pita” lain yang nyasar ke
pelukanku. Aku masih berjuang untuk hal itu hingga detik ini. Kasihan
sekali gue..
jangan segan2 berkunjung kembaLi ya sobat
EmoticonEmoticon