Teng! Jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon,
![]() |
“Nis, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi…” suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.
“Alhamdulillah… laki-laki atau perempuan, Bu?” Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita ini, adik suaminya, yang akan melahirkan.
“Alhamdulillah… laki-laki atau perempuan, Bu?” Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita ini, adik suaminya, yang akan melahirkan.
“Laki-laki. Cakep lho, Nis, mirip
Mas-mu diwaktu bayi…” Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang
termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.
“Selamat ya, Bu, nambah cucu lagi. Salam buat Dini, Insya Allah besok pulang kerja, Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit.” janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.
“Selamat ya, Bu, nambah cucu lagi. Salam buat Dini, Insya Allah besok pulang kerja, Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit.” janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.
Setelah menutup telepon, Anis
termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah
memasuki tahun ke 5, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah
mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar
berita kelahiran anak kedua Dini di usia pernikahan mereka yang baru
tiga tahun.
“Kok melamun?!” Mas Iqbal yang baru
keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari
ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Anis
panaskan dua kali tadi.
“Mas, ibu tadi mengabari, Dini sudah melahirkan. Bayinya laki-laki,” cerita Anis.
“Mas, ibu tadi mengabari, Dini sudah melahirkan. Bayinya laki-laki,” cerita Anis.
“Alhamdulillah… Dila sudah punya
adik sekarang,” senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan rambutnya, tapi
entah mengapa Anis menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Anis
menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.
Selepas Isya’an bersama, Mas Iqbal
segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga
sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan
merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Anis memutuskan untuk membuat
usaha sendiri saja.
Dibantu temannya yang seorang
notaris, akhirnya Anis mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak
di bidang design interior. Anis memang berlatar pendidikan bidang
tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu
menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya.
Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia
sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.
Dan, seiring dengan kemajuan dan
kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit
mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak
terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali
tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan
mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan
yang sigap dan cekatan membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa
designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya.
Itu sebabnya sesekali saja Anis agak
sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya
teman-teman yang mengerjakan. Waktu Anis terbanyak tetap buat keluarga,
mengurus rumah atau masak buat Mas Iqbal meski ada Siti yang membantunya
di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu.
Anis juga bisa tetap rutin mengaji
mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur
cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja.
Berita dari ibu tadi membuat Anis teringat lagi. Teringat akan
kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.
Lima tahun pernikahan adalah bukan
waktu yang sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam bulan pertama
ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak
untuk suaminya dan merintis kariernya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan
tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya,
tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Anis
mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa
yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga
pasangan-pasangan lainnya…
Atas saran dari banyak orang, Anis
mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita
dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik,
pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan
seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka
bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.
“Saya tidak sedang hamil, hanya
ingin konsultasi saja…” senyum Anis sabar meski dadanya berdebar,
sementara Mas Iqbal semakin pura-pura asyik dengan korannya. Anis
bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari
stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.
Setahun berlalu. Di tengah
kebahagiaan rumah tangganya, ada cemas yang kian mengganggu Anis.
Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Anis gemas melihat
tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya
apa yang terjadi dengan dirinya.
Setelah itu mulailah usaha Anis dan
suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu
saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan
tidak melanggar syariat agama. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka
datangi bersama, meski lagi dan lagi, sama saja hasilnya. Sementara
hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.
Kadang Anis menangis ketika semakin
gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap
mengusik tidurnya. Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya, “Anis, apa yang
harus disedihkan? Dengan atau tanpa anak, rumah tangga kita akan
berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada
sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga
kita…” kata Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca jalan
pikirannya.
Suaminya memang tahu kapan Anis
sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut
dalam kesedihan. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang
paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do’a dan berserah dirinya
pada Tuhan.
Kadang Anis heran kenapa Mas Iqbal
bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi.
Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak
terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar
menyembunyikan perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti sikap Mas
Iqbal banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.
Sebenarnya Anis juga bukan selalu
berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut
oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang
mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Anis
bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya.
Buatnya tidak ada waktu yang
disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif
dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya
terhadap Anis yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh
rengekan si kecil. Anis tersenyum saja.
Anis juga tidak pernah menyalahkan
teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi
tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang
usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar
pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang
semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar
bagaimanapun Anis menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah
dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain.
Tapi kadang-kadang, sesekali ketika
Anis sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis senang
juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu,
dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya,
atau malah menyemangati dengan do’a dan dukungan agar sabar dan yakin
akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.
Anis tersadar dari lamunannya.
Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun
malam tapi udara terasa pengap. Anis meneruskan tidurnya. Dalam lelap ia
bermimpi bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.
Siang keesokan harinya, Anis sedang
merancang sebuah ruang pameran di kantornya. Ada festival Islam yang
akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab
rapi seperti Anis, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang
mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, “Mbak Anis, ada tamu yang
mau bertemu.”
“Dari mana, Fit?” tanya Anis.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal aplikasi mbak Anis bulan kemarin.”
“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.” jawab Anis.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal aplikasi mbak Anis bulan kemarin.”
“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.” jawab Anis.
Setelah berbincang-bincang dengan
tamunya, akhirnya Anis menyepakati mengangkat salah satu anak yatim yang
diasuh yayasan tersebut sebagai putra asuhnya. Namanya Safiq. Anis
memang selalu menyisihkan rezekinya untuk mereka yang membutuhkan.
Dan kali ini, ia berniat untuk
menyantuni dan mengasuh Safiq seperti anaknya sendiri, itupun setelah
dimusyawarahkan dengan suaminya. Anis berharap, dengan begitu ia bisa
cepat hamil. Ibu-ibu banyak yang mengatakan, mungkin Anis perlu
’pancingan’ agar bisa lekas dapat momongan.
Begitulah, mulai saat itu, Safiq yang berusia 12 tahun, tinggal bersama Anis dan Iqbal.
Mempunyai ’anak’, membawa banyak
hikmah bagi Anis. Ia jadi semakin teliti dan perhatian. Apapun kebutuhan
Safiq berusaha ia penuhi. Mulai dari baju hingga mainan, juga kebutuhan
sekolah bocah itu yang tahun depan mau masuk SMP.
Anis juga mencurahkan seluruh kasih
sayangnya pada Safiq, hingga mas Iqbal yang merasa tersisih, sempat
melayangkan protes sambil bercanda, ”Hmm, gimana kalau punya anak
beneran ya, bisa-bisa aku nggak boleh tidur di kamar.”
Anis cuma tertawa menanggapinya.
”Ah, mas bisa aja.” dia mencubit pinggang laki-laki itu.
Dan selanjutnya merekapun bergumul di ranjang untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap persetubuhan kali ini akan membuahkan hasil.
”Ah, mas bisa aja.” dia mencubit pinggang laki-laki itu.
Dan selanjutnya merekapun bergumul di ranjang untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap persetubuhan kali ini akan membuahkan hasil.
Esok paginya, seperti biasa, Anis
menyiapkan sarapan bagi Safiq. Tidak terasa, sudah hampir tiga bulan
bocah itu tinggal bersamanya. Dan Anis merasa senang sekaligus
bersyukur, karena pilihannya ternyata tidak salah, Safiq sangat pintar
dan baik. Anak itu tidak nakal, sangat menurut meski agak sedikit
pendiam. Hanya kepada Anis lah ia mau berbincang, sedangkan dengan mas
Iqbal, Safiq seperti menjaga jarak.
”Kenapa, Fiq?” tanya Anis menanyakan
sebabnya saat mereka sarapan bersama. Saat itu mas Iqbal sudah
berangkat ke kantor, sedangkan Safiq masuk siang.
Bocah itu terdiam, hanya jari-jari tangannya yang bergerak memainkan bulatan bakso di atas nasi gorengnya.
”Tidak apa-apa, ngomong saja sama
Umi.” kata Anis. Dia memang menyuruh Safiq untuk memanggilnya dengan
panggilan ’Umi’ sedangkan untuk mas Iqbal ’Abi’.
”Ah, nggak, Mi.” Safiq masih tampak takut.
”Ah, nggak, Mi.” Safiq masih tampak takut.
Anis menatapnya. Di usianya yang
baru beranjak remaja, bocah itu terlihat tampan. Kalau besar nanti,
pasti banyak gadis yang akan terpikat kepadanya.
”Umi nggak akan marah.” kata Anis lagi, penuh dengan sabar.
Safiq menggeleng, dia menundukkan kepalanya semakin dalam.
Kasihan, Anis pun mendekatinya.
”Tidak apa-apa kalau kamu nggak mau bilang, umi nggak akan maksa.” Dipeluknya bocah kecil itu, diletakkannya kepala Safiq di atas gundukan buah dadanya.
Kasihan, Anis pun mendekatinya.
”Tidak apa-apa kalau kamu nggak mau bilang, umi nggak akan maksa.” Dipeluknya bocah kecil itu, diletakkannya kepala Safiq di atas gundukan buah dadanya.
Ia biarkan Safiq menangis di situ.
”Maaf kalau Umi sudah membuatmu takut.” ucap Anis penuh nada penyesalan, ia memang tidak berharap perbincangan ini akan berakhir seperti itu.
”Maaf kalau Umi sudah membuatmu takut.” ucap Anis penuh nada penyesalan, ia memang tidak berharap perbincangan ini akan berakhir seperti itu.
Lama mereka berpelukan, hingga Anis
merasa tangis Safiq perlahan mereda dan akhirnya benar-benar berhenti.
Ia sudah akan melonggarkan dekapannya saat merasakan sesuatu yang lembut
mengendus dan menyundul-nyundul pelan buah dadanya.
Ah, Safiq! Apa yang kamu lakukan?
Anis memang cuma mengenakan daster longgar saat itu, hanya saat keluar
rumah atau ada tamu pria, ia mengenakan jilbab. Dengan pakaian seperti
ini, bibir Safiq yang bermain di belahan payudaranya sungguh
sangat-sangat terasa.
Cepat Anis melirik ke bawah, dilihatnya si bocah yang kini berusaha mencium dan menyusu ke arah buah dadanya.
”Safiq!” Anis menegur, tapi dengan
suara dibuat selembut mungkin, takut membuat bocah itu kembali
mengkerut. Padahal dalam hati, Anis benar-benar mengutuk aksinya yang
sudah kurang ajar.
Safiq mendongakkan kepala, ”M-maaf, Mi.” suaranya parau, sementara tubuhnya gemetar pelan.
Safiq mendongakkan kepala, ”M-maaf, Mi.” suaranya parau, sementara tubuhnya gemetar pelan.
Tak tega, Anis segera memeluknya
kembali. ”Tidak apa-apa, tapi jangan diulang lagi ya. Itu tidak boleh.”
ia membelai rambut Safiq penuh rasa sayang.
Safiq mengangguk. ”Maaf, Mi. Safiq cuman pengen tahu gimana rasanya nenen.”
Anis terkejut, ”Emang kamu belum pernah?” tanyanya tak percaya.
”Safiq kan yatim piatu dari kecil, Mi. Jangankan nenen, siapa ibu Safiq aja nggak ada yang tahu. Safiq ditinggal di depan pintu yayasan.” jawab bocah itu dengan getir.
Safiq mengangguk. ”Maaf, Mi. Safiq cuman pengen tahu gimana rasanya nenen.”
Anis terkejut, ”Emang kamu belum pernah?” tanyanya tak percaya.
”Safiq kan yatim piatu dari kecil, Mi. Jangankan nenen, siapa ibu Safiq aja nggak ada yang tahu. Safiq ditinggal di depan pintu yayasan.” jawab bocah itu dengan getir.
Anis meneteskan air mata
mendengarnya, ia mendekap dan mengelus kepala Safiq lebih erat lagi.
Setelah terdiam cukup lama, Anis akhirnya membuka suara, ”Bener kamu
pengen nenen?” tanyanya dengan suara berat. Keputusan sudah ia ambil,
meski itu awalnya begitu berat.
Safiq menganggukkan kepala.
”Janji ya, cuma nenen?” tanya Anis sambil memandang matanya.
”I-iya, Mi.” angguk Safiq cepat.
”Janji ya, cuma nenen?” tanya Anis sambil memandang matanya.
”I-iya, Mi.” angguk Safiq cepat.
”Dan jangan ceritakan ini sama orang
lain, termasuk pada Abi. Karena anak sebesar kamu sudah tidak
seharusnya nenen pada Umi, ini tidak boleh. Tapi karena kasihan, Umi
terpaksa mengabulkannya.” terang Anis, terbersit nada getir dalam
suaranya.
”Iya, Mi. Safiq janji.” kata bocah kecil itu.
Begitulah, dengan perlahan Anis pun
menurunkan dasternya hingga buah dadanya yang besar terlihat jelas.
Meski masih tertutup BH, benda itu tampak begitu indah. Ukurannya yang
di atas rata-rata membuatnya jadi tampak sesak. Anis segera membuka cup
BH-nya, tanpa ada yang menyangga, bulatan kembar itupun terlontar dengan
kerasnya hingga sanggup membuat mata bulat Safiq makin melotot lebar.
”M-mi…” Safiq memanggil, tapi
pandangannya sepenuhnya tertuju pada area dada sang ibu angkat yang kini
sudah terbuka lebar, siap untuk ia jamah.
”Ayo, katanya mau nenen?” kata Anis
sambil menarik salah satu bulatan payudaranya ke depan, memberikan
putingnya yang merona merah pada Safiq.
Tahu ada benda mulus menggiurkan
yang mendekat ke arah mulutnya, Safiq pun membuka bibir, dan mencaplok
puting Anis dengan perlahan, ”Ahm…” lenguh mereka berdua hampir
bersamaan.
Anis kegelian karena ada lidah basah
yang melingkupi ujung payudaranya, sedangkan Safiq merasa nikmat
mendapat benda yang selama ini ia idamkan-idamkan. Lidahnya terus menari
membelai puting payudara Umi-nya, sedangkan bibirnya terus mengecap
untuk mencucup dan menghisap-hisapnya.
”Ah, jangan keras-keras, Fiq.
Sakit!” desis Anis di sela-sela jilatan sang anak angkat. Ia mulai
merasa merinding, jilatan Safiq mengingatkannya pada mas Iqbal, yang
biasa melakukannya sebelum mereka tidur. Meski aksi Safiq terasa agak
sedikit kaku, tapi sensasi dan rasanya tetaplah sama.
Sementara itu, Safiq dengan tak
sabar dan penasaran terus menyusu. Mulutnya dengan liar bermain di
gundukan payudara Anis. Tidak cuma yang kiri, yang kanan juga ia
perlakukan sama. Kadang Safiq malah membenamkan wajahnya di belahan
payudara Anis yang curam, dan membiarkan mukanya dikempit oleh bulatan
kenyal itu, sambil tangannya mulai meremas-remas ringan.
”Ah, Fiq.” rintih Anis mulai tak sadar. Ia menekan kepala bocah itu, berharap Safiq mempermainkan payudaranya lebih keras lagi.
Safiq yang gelagapan berusaha mencari udara, digigitnya salah satu puting Anis hingga umi-nya itu menjerit kesakitan.
”Auw, Fiq! Apaan sih, sakit tahu!” Anis mendelik marah, tapi melihat muka Safiq yang memerah dan nafasnya yang ngos-ngosan, iapun akhirnya mengerti. ”Eh, maaf. Umi nggak tahu.”
”Gak apa-apa, Mi.” Safiq tersenyum, kedua tangannya masih hinggap di dada Anis dan terus meremas-remas ringan disana.
”Gimana, kamu suka?” tanya Anis sambil membelai kepala Safiq penuh rasa sayang.
Safiq yang gelagapan berusaha mencari udara, digigitnya salah satu puting Anis hingga umi-nya itu menjerit kesakitan.
”Auw, Fiq! Apaan sih, sakit tahu!” Anis mendelik marah, tapi melihat muka Safiq yang memerah dan nafasnya yang ngos-ngosan, iapun akhirnya mengerti. ”Eh, maaf. Umi nggak tahu.”
”Gak apa-apa, Mi.” Safiq tersenyum, kedua tangannya masih hinggap di dada Anis dan terus meremas-remas ringan disana.
”Gimana, kamu suka?” tanya Anis sambil membelai kepala Safiq penuh rasa sayang.
Si bocah mengangguk,
”Iya, Mi.”
”Mau lagi?” tanya Anis.
Safiq mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.
”Kalau begitu, ayo sini.” Anis pun menarik kepala bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan payudaranya.
”Iya, Mi.”
”Mau lagi?” tanya Anis.
Safiq mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.
”Kalau begitu, ayo sini.” Anis pun menarik kepala bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan payudaranya.
Begitulah, sampai siang, Safiq terus
menyusu di bongkahan payudara Anis, sang ibu angkat yang masih berusia
muda, tidak lebih dari 30 tahun. Dengan payudara yang masih mulus
sempurna, Safiq benar-benar dimanjakan. Ia menjadi bocah yang paling
beruntung di dunia. Sementara Anis juga merasa senang karena kini ia
menjadi semakin intim dan akrab dengan sang putra angkat yang sangat ia
sayangi.
Rutinitas itu terus berlangsung.
Kapanpun dan dimanapun Safiq ingin, asal tidak ada orang -terutama mas
Iqbal- Anis dengan senang hati menyusuinya. Dan seperti yang sudah
dijanjikan, Safiq memang tidak pernah meminta lebih.
Bocah itu cuma meremas dan
menghisap, tidak macam-macam. Ditambah lagi, sama sekali tidak ada nafsu
ataupun birahi dalam setiap jilatannya, Safiq benar-benar murni
melakukannya karena pengen nenen. Anis jadi merasa aman.
Tapi semua itu berubah saat Safiq naik ke jenjang SMP…
Umur yang bertambah membuat pikiran
bocah itu semakin berkembang. Dari yang semula cuma nenen biasa, kini
berubah menjadi jilatan mesra yang sangat lembut namun sangat
menggairahkan. Remasan bocah itu juga semakin bervariasi; kadang keras,
kadang juga lembut.
Kalau menghisap puting yang kiri,
Safiq memijit dan memilin-milin yang kanan, begitu pula sebaliknya. Tak
jarang Safiq mendempetkan dua puting itu dan menghisapnya dalam satu
waktu. Pendeknya, Safiq sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang tahu
apa arti seks yang sesungguhnya.
Anis bukannya tidak mengetahui hal
itu. Ia sudah bisa menebaknya saat melihat penis Safiq yang sedikit
ereksi saat mereka sedang melakukan ’ritual’ itu. Tapi Anis pura-pura
tidak tahu dan mendiamkannya saja.
Toh Safiq juga tidak berbuat
macam-macam, anak itu tetap ’sopan’. Malah Anis yang panas dingin, itu
karena ukuran penis Safiq yang saat ini sudah melebihi punya mas Iqbal,
padahal usia bocah itu masih sangat muda. Gimana kalau nanti sudah
besar… ah, Anis tidak kuat membayangkannya.
Esoknya, saat membangunkan Safiq
untuk sholat subuh, Anis disuguhi pemandangan baru lagi. Saat itu Safiq
masih tertidur lelap, tapi tidak demikian dengan penisnya. Benda itu
sedang berdiri dan menjulang begitu tegarnya. Sempat Anis terpana dan
terpesona untuk beberapa saat, tapi setelah bisa menguasai diri, ia
segera membangunkan sang putra,
”Fiq, ayo sholat dulu.”
Safiq cuma menggeliat lalu
meneruskan tidurnya. Anis jadi tergoda. Apalagi sekarang di depannya,
penis Safiq jadi kelihatan lebih menantang. Ukurannya yang begitu besar
membuat Anis tercengang, dengan warna coklat kehitaman dan ‘kepala’ yang
masih kelihatan imut (Safiq baru bulan kemarin disunat), benda itu jadi
terasa seperti magnet bagi Anis.
Tanpa terasa perlahan jari-jarinya
terulur dan mulai menggenggamnya. Ia memperhatikan wajah sang putra
angkat, Safiq terlihat tenang saja, matanya tetap terpejam rapat sambil
menikmati tidur pulasnya.
Dengan hati berdebar dan penuh
perhitungan, takut dipergoki oleh sang suami -juga takut bila Safiq
tiba-tiba bangun- Anis mulai mengocok benda panjang itu perlahan-lahan.
Saat diperhatikannya Safiq tetap tertidur, malah bocah itu seperti
menikmatinya -terlihat dari desah nafasnya yang semakin memburu dan
tarikan lirih karena terangsang-
Anis pun mempercepat kocokannya.
Hingga tak lama kemudian berhamburan cairan putih kental dari ujungnya.
Safiq ejakulasi. Yang gilanya, akibat rangsangan Anis, ibu angkatnya
sendiri.
Merasa sangat bersalah, dengan tergopoh-gopoh Anis segera membersihkannya. Saat itulah, Safiq tiba-tiba terbangun.
”Eh, umi…” gumamnya tanpa tahu apa yang terjadi.
Anis mengelap sisa sperma Safiq ke ujung dasternya,
”Ayo sholat dulu, sayang.” katanya dengan nada suara dibuat senormal mungkin, padahal dalam hati ia sangat berdebar-debar.
Anis mengelap sisa sperma Safiq ke ujung dasternya,
”Ayo sholat dulu, sayang.” katanya dengan nada suara dibuat senormal mungkin, padahal dalam hati ia sangat berdebar-debar.
Safiq memperhatikan cairan putih
kental yang berceceran di perutnya. Untuk yang ini, Anis tidak sempat
membersihkannya. ”Ini apa, Mi?” Safiq mengambil cairan itu dan
mempermainkan di ujung jarinya, lalu mengendusnya ke hidung.
”Ih, baunya aneh.” bocah itu nyengir.
Anis tersenyum,
”Tidak apa-apa, itu tandanya kamu sudah mulai dewasa.”
Safiq memandang umi-nya, ”Dewasa? Safiq nggak ngerti. Maksud Umi apaan?” tanyanya.
”Nanti Umi jelaskan, sekarang mandi dulu ya.” Anis membimbing putra kesayangannya turun dari ranjang.
Anis tersenyum,
”Tidak apa-apa, itu tandanya kamu sudah mulai dewasa.”
Safiq memandang umi-nya, ”Dewasa? Safiq nggak ngerti. Maksud Umi apaan?” tanyanya.
”Nanti Umi jelaskan, sekarang mandi dulu ya.” Anis membimbing putra kesayangannya turun dari ranjang.
Safiq menggeleng,
”Nggak mau ah, Mi. Dingin!”
”Eh, harus. Kalau nggak, nanti badanmu kotor terus. Ini namanya mandi besar.” terang Anis.
”Mandi besar?” tanya Safiq, lagi-lagi tidak mengerti.
”Ah, iya. Kamu kan belum pernah melakukannya. Ya udah, ayo Umi ajarin.” Anis mengajak Safiq untuk beranjak ke kamar mandi.
”Nggak mau ah, Mi. Dingin!”
”Eh, harus. Kalau nggak, nanti badanmu kotor terus. Ini namanya mandi besar.” terang Anis.
”Mandi besar?” tanya Safiq, lagi-lagi tidak mengerti.
”Ah, iya. Kamu kan belum pernah melakukannya. Ya udah, ayo Umi ajarin.” Anis mengajak Safiq untuk beranjak ke kamar mandi.
Di ruang tengah, dilihatnya mas
Iqbal kembali tidur setelah menunaikan sholat subuh. Sudah kebiasaan
laki-laki itu, malam melek untuk sholat tahajud, habis subuh tidur lagi
sampai waktu sarapan tiba. Dengan bebas Anis membimbing Safiq masuk ke
kamar mandi.
“Lepas bajumu,” katanya memerintahkan.
Safiq dengan patuh melakukannya. Ia
tidak risih melakukannya karena sudah biasa telanjang di depan ibu
angkatnya. Tak berkedip Anis memperhatikan penis Safiq yang kini sudah
mengkerut dan kembali ke ukuran semula.
”Pertama-tama, baca Bismillah, lalu niat untuk menghilangkan hadast besar.” kata Anis.
”Emang Safiq baru dapat hadast besar ya?” tanya Safiq pada ibu angkatnya yang cantik itu.
Anis dengan sabar menjawab, ”Iya, kamu tadi mimpi enak kan?” tanyanya.
Safiq mengangguk,
”Iya sih, tapi Safiq sudah lupa ngimpiin apa.”
”Nggak masalah, itu namanya kamu mimpi basah. Itu tanda kedewasaan seorang laki-laki. Dan sehabis dapat mimpi itu, kamu harus mandi besar biar badanmu suci lagi.” sahut Anis.
Safiq mengangguk mengerti.
”Terus, selanjutnya apaan, Mi?”
”Emang Safiq baru dapat hadast besar ya?” tanya Safiq pada ibu angkatnya yang cantik itu.
Anis dengan sabar menjawab, ”Iya, kamu tadi mimpi enak kan?” tanyanya.
Safiq mengangguk,
”Iya sih, tapi Safiq sudah lupa ngimpiin apa.”
”Nggak masalah, itu namanya kamu mimpi basah. Itu tanda kedewasaan seorang laki-laki. Dan sehabis dapat mimpi itu, kamu harus mandi besar biar badanmu suci lagi.” sahut Anis.
Safiq mengangguk mengerti.
”Terus, selanjutnya apaan, Mi?”
”Selanjutnya… basuh kemaluanmu
seperti ini,” Anis meraih penis Safiq dan mengguyurnya dengan air.
Ajaib, bukannya mengkeret karena terkena air dingin, benda itu malah
mendongak kaku dan perlahan kaku dan menegang karena usapan tangan Anis.
”Mi, enak…” Safiq merintih.
Anis jadi serba salah, cepat ia menarik tangannya. ”Eh,”
Tapi Safiq dengan kuat menahan, ”Lagi, Mi… enak,” pintanya.
Anis jadi serba salah, cepat ia menarik tangannya. ”Eh,”
Tapi Safiq dengan kuat menahan, ”Lagi, Mi… enak,” pintanya.
Melihat pandangan mata yang sayu dan
memelas itu, Anis jadi tidak tega untuk menolak. Tapi sebelumnya, ia
harus memastikan segalanya aman dulu. Dikuncinya pintu kamar mandi, lalu
ia berbisik pada sang putra.
”Jangan berisik, nanti Abimu bangun.” sambil tangan kanannya mulai mengocok pelan batang penis Safiq.
Safiq mengangguk. Yang kurang ajar, untuk meredam teriakannya, ia meminta nenen pada Anis. “Plis, Mi. Safiq pengen.”
Safiq mengangguk. Yang kurang ajar, untuk meredam teriakannya, ia meminta nenen pada Anis. “Plis, Mi. Safiq pengen.”
Menghela nafas -karena merasa
dipecundangi- Anis pun memberikan bongkahan payudaranya. Jadilah, di
kamar mandi yang sempit itu, ibu serta anak yang seharusnya saling
menghormati itu, melakukan hal buruk yang sangat dilarang agama. Safiq
menggelayut di tubuh montok ibu angkatnya, sambil mulutnya menyusup ke
bulatan payudara Anis.
Bibirnya menjilat liar disana.
Sementara istri Iqbal, dengan nafas memburu menahan kenikmatan, terus
mengocok penis besar sang putra hingga menyemburkan sperma yang
dikandung di dalamnya tak lama kemudian.
Banyak dan kental sekali cairan itu,
meski tidak seputih yang pertama, tapi pemandangan itu sudah cukup
membuat Anis jadi horny. Wanita itu merasakan celana dalamnya jadi
basah. Tapi tentu saja ia tidak mungkin menunjukkannya pada Safiq, bocah
itu tidak akan mengerti. Jadi cepat-cepat ia bersihkan semuanya, takut
mas Iqbal yang sedang tertidur di ruang tengah tiba-tiba bangun dan
memergoki ulah mereka.
Didengarnya Safiq menarik nafas panjang sambil mendesah puas, ”Terima kasih, Mi. Nikmat banget. Badan Safiq jadi enteng.”
Anis mengangguk mengiyakan. ”Sudah, sekarang mandi sana. Ulangi semuanya dari awal.”
Safiq tersenyum, dan dengan bimbingan dari ibu angkatnya yang cantik, iapun melakukan mandi wajib pertamanya.
Anis mengangguk mengiyakan. ”Sudah, sekarang mandi sana. Ulangi semuanya dari awal.”
Safiq tersenyum, dan dengan bimbingan dari ibu angkatnya yang cantik, iapun melakukan mandi wajib pertamanya.
Sejak saat itu, level ’permainan’
mereka jadi sedikit meningkat. Anis tidak cuma memberikan payudaranya,
tapi kini juga harus memuaskan Safiq dengan tangannya. Dan si bocah,
tampak senang-senang saja menerimanya. Siapa juga yang bakal menolak
kenikmatan seperti itu.
jangan segan2 berkunjung kembaLi ya sobat
EmoticonEmoticon